Breakdown & Burst Out

This is based on real-life story.
Some people will hate me for this.

Awalnya hanya masalah sepele. Err, mungkin tidak terlalu sepele.
Okay, I admit it. Bagiku, ini masalahnya sama sekali tidak sepele. Kuulangi lagi: bagiku. Aku tidak peduli jika kalian mungkin menganggap ini masalah yang remeh. Kenyataannya sudah lama aku alami. Terkadang muncul, terkadang juga hilang. Tapi selalu aku pendam sendiri. Dan ternyata sudah mengakar kuat dan menjalar ke dalam. Dipendam dan ditahan oleh bangunan tanpa ventilasi yang sebenarnya rapuh. Kamu tahu? Suatu hal yang ditimbun dalam dan terus menerus bertambah volumenya, hal itu akan terakumulasi hingga suatu saat dapat mencapai titik jenuhnya, lalu meledak. Meledak dengan keras, mengagetkan banyak orang, termasuk diriku sendiri.

Breakdown.
Mungin itu kata yang tepat yang menggambarkan keadaan ini. Breakdown means you have no control to yourself that you're just... sobbing and doing something crazy right there. You have no control. Regret something that you did. Realizing that it is the reality. Seriously. Just, burst out. Kenapa? Karena sudah lama dipendam. Marah, malu, kecewa, minder. I lost my self-confidence. Everything just didn't feel right at that time.
"I'm not okay."
Hasil dari semua yang dipendam terlalu lama. Sudah jenuh dan akhirnya meledak. Bagai bendungan yang jebol. Air bah meluap kemana-mana. Tumpah ruah secara tiba-tiba. I don't know to whom I should throw up this feeling. Sampai aku teringat bahwa aku punya seseorang yang sudah aku anggap kakak. Awalnya lucu memang, hanya karena hari ulang tahun kami sama, 9 Januari. Dan yang membedakan ialah dia lahir lebih dulu di pagi hari. Lalu kami mulai saling sapa dengan sebutan kakak dan adek. Nothing, just like sister and brother, seriously. Aku mengetik beberapa kata di layar handphone-ku dan menekan tombol send.
"What's up?" she replied.
And the story goes, ceritanya dimulai. Tentang hal yang terus aku pendam selama ini. Akhirnya meledak saat itu juga. I just told everything to her. Aku menyatakan hal yang selama ini aku percaya, namun sekarang aku mengingkarinya.
"Yeah, tapi itu mereka, bukan kamu. You don't know how they struggle to deal with it." katanya.
"Tapi mereka punya banyak sekali kelebihan."
"Nggak ada orang yang sempurna di segala hal."
Aku tahu apa yang dia katakan itu benar. Karena itu adalah kalimat motivasi yang terus aku bangun: That you're special, nobody's compared with you. You have your own way.
Tapi aku harus mengakuinya, selama ini mindset itu masih rapuh. Sekali tergoyang, hancur. Terkadang dikalahkan oleh mindset yang lain, mindset-ku tentang perfeksionisme. Being perfectionist means you gotta be perfect at everything. And it kills me.
"Dulu aku juga gitu. Terus aku jatuh, ambyar. Kalo hancur, bangun lagi. Dan akhirnya aku mulai bisa menerima, semua hal akan sempurna dengan caranya masing-masing. Bernafaslah, Dek. Terus rasain nafasmu. "
Aku sudah lama sadar. Aku bukan cuman perfeksionis, tapi aku juga idealis. Aku sudah terinfeksi dengan mindset idealis dan perfeksionis yang aku tanam sendiri. Aku bisa melihat kekuranganku, tetapi belum bisa mengatasi dan membuang mindset yang telah terinfeksi tadi.
My mind is infected by the idea that I planted by myself.
"Ya itu ladangmu. Ladang pikiranmu. Seperti tanaman, kamu berhak mencabutnya. Bukan masalah gimana keadaan tanamanmu, bukan juga masalah tentang sudah tertanam sejauh mana. Proses. Semua butuh proses."
Tapi aku beranggapan bahwa mungkin alam bawah sadarku sudah terlalu terinfeksi. Jadi mungkin butuh obat dari luar, semacam terapi dari psikolog mungkin? Tapi dia tak beranggapan sama. Dia menolaknya.
"Kenapa, Kak? Karena kamu sudah mampu untuk menjadi penolong bagi dirimu sendiri?"
"Karena aku berusaha membuat diriku sendiri mampu. Cuma itu. Kamu tahu nggak? Sejujurnya rasanya sangat berat untuk harus kuat ketika yang lain terseok."
"Dan kamu sekarang jadi tumpuan bagi orang lain, bukan? Harapan dari orang banyak."
"Iya. Dan aku memaksakan diri untuk bisa, akhirnya aku bisa terbiasa. Terbiasa untuk ikhlas."
Diam...
Mungkin aku enggak bisa benar-benar setuju sama opininya. Tapi aku tahu, sebagian besar dari apa yang ia katakan adalah benar. Aku menghela napas.
"Kak. Sebenarnya aku hanya butuh orang untuk mendengarkan. But you not only listened, you gave solution. So, thank you. :) I owe you. Aku berharap suatu saat nanti aku bisa cukup kuat untuk mengalahkan diriku sendiri. Maaf tadi aku sudah gila. Sorry for being a little egoisticNow, I'm on process."
"Kamu sudah kuat. Yakinlah, kamu sudah kuat. Dan dalam proses untuk terus dikuatkan. :)"
So, please remind me.
~ " ~

~Dedicated for N.E.J.~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar